3.2.15

Back from Hibernation

setelah lama sekali tidak memposting barang sedikit pun di blog ini, akhirnya saya kembali juga. kembali dengan omong kosong yang sama, hahaha. maklum, masih blogger amatiran, dan ternyata saat waktu luang, menonton conan dan kogoro mouri lebih menggiurkan daripada ketik-ketik. tapi keinginan untuk ketik-ketik ini muncul lagi ketika tidak sengaja membuka blog saya yang ternyata sangat menyedihkan dan menyayat hati ini, tak pernah ngepost, dan tak pernah diapa-apain, aiissh.
bicara soal menyedihkan dan menyayat hati, ada keadaan yang sama (selain blog saya, hehe). setiap kali membaca berita (membaca, tidak melihat, online soalnya), isinya selalu hal-hal yang mengherankan, mulai dari kecamuk politik, perang, pemberontakan, kemalangan.. hmm, semakin maju dunia, masalahnya pun semakin kompleks. manusia-manusia sudah semakin pintar, dalam segala hal tentunya, dan semua berlomba-lomba untuk tetap eksis di dunia ini. ada yang bertujuan untuk memperoleh materi, memperoleh kebahagiaan, memperoleh kejayaan, atau sekedar memperoleh kebebasan. sebenarnya kebebasan bukan hanya "sekedar", namun merupakan hal pokok dalam memperoleh hal-hal yang lain.

19.5.14

Roronoa Zoro dan Ateisme

Menurut kamus besar bahasa Indonesia, ateisme adalah paham yang tidak mengakui adanya Tuhan. Sedangkan orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan disebut ateis.
Bagi seorang yang mulai dari lahir sudah diajarkan untuk percaya akan Tuhan, sulit juga rasanya saya memahami cara berpikir ateis. Bagaimana bisa seseorang dengan sombongnya mengatakan bahwa “there is no God”. Yah, tidak bermaksud mengatakan bahwa mereka sombong sih. Namun berdasarkan pemikiran seorang yang beriman tentu itu sudah di luar batas. Bagaimana seluruh komponen yang ada di jagat raya yang amat sangat super rumit badai sekali ini (bukan melebih-lebihkan, emang itu adanya), mulai dari yang mikro hingga yang makro, dapat berhubungan dengan harmonis jika tidak ada kekuatan maha dahsyat yang memegang kendali atasnya.
Orang macam saya, yang belum pernah belajar tentang konsep kepercayaan dan ketuhanan tentu saja akan bilang kalau ateis itu tak masuk akal. Dan yang bisa saya lakukan hanya menganggap kalau mereka benar-benar gila. Hmm..
Setelah menangalami banyak perenungan dan pemikiran (padahal nggak sih, cuma bisar keren aja, ha ha), saya sampai pada kesimpulan bahwa kita tidak boleh men-judge orang lain benar atau salah kalau kita tidak tahu apa sebenarnya yang ada pada orang lain itu. Kalau ingin mengatakan apa gerangan yang menjadi prinsip ateis, tentu saja kita harus menyelidiki dan mempelajari darimana pemikiran mereka itu, mulai dari hilir hinga muaranya. Namun tidak sampai harus jadi ateis juga..
Saya tidak terlalu paham tentang konsep keyakinan yang dipelajari orang-orang filsafat dan sebangsanya. Hanya tau sedikit saja sih. Tapi menurut saya keyakinan seseorang, baik itu keyakinan yang baik dan yang buruk, yang dianggap antagonis dan protagonis pasti ada sebab dan akibatnya, seperti Hukum III Newton. Maksudnya, pasti itu terkait dengan sejarah hidup orang itu sendiri. Tentu saja sejarah hidup disini sudah mencangkup segala aspek yang dialaminya, mulai dari kepribadian, keadaan lingkungan, dan keadaan hidup orang itu sendiri.
Entah kenapa pikiran macam ini saya dapatkan ketika saya menonton salah satu anime buatan Jepang. Yah, tidak seketika juga sih, tapi mikir juga, gak tiba-tiba dapat (kayak kasusnya Newton dan apelnya, ha ha).
Karakter anime yang menyadarkan saya tersebut (sebelumnya memang belum sadar) adalah Roronoa Zoro, pendekar pedang buatannya Eiichiro Oda yang sangat keren dan hebat (favorit saya soalnya). Pertama kali Zoro mengatakan tentang ketidakpercayaan pada Dewa pada saat di Loguetown (episode 52). Saat ditanya sanji tentang selamatnya Luffy oleh petir dari eksekusi Buggy, dia berkata

Dia hanya mengatakan padanya bukan waktunya menanyakan hal seperti itu.
Di pertengahan episode 159 Skipea, Zoro yang ingin pergi ke hutan tempat dewa dan pendetanya tinggal, dicegah oleh Nami, karena bisa membuatnya marah dan bertanya padanya tentang apakah dia berdoa pada Dewa. Kemudian dia menjawab

Kalau tidak melihat dari awal mungkin akan bingung darimana nyambungnya, gitu. Ha ha. Tapi, ini bukan artikel tentang ke-ateis-an salah satu karakter anime lho, hanya untuk menjadi jembatan penghubung saja. Walaupun sebgai penggemar karakter anime ini saya kurang setuju (haha, padahal hanya anime), namun Setelah tahu Dewa yang dimaksud ternyata sangat jahat dan tidak masuk akal seperti ini;

dalam hati saya berkata, “ya iyalah, kalau Dewanya seperti ini saya juga gak bakal percaya, apalagi berdoa padanya.” Ha ha ha

dari situlah saya berpendapatan, salah satu faktor yang membuat ketidakpercayaan seseorang terhadap Tuhan karena Tuhan yang dikenalnya mungkin sama tidak masuk akalnya seperti Enel, atau yang lainnya. Memang sih, beberapa kelompok menggambarkan Tuhan sebagai wujud yang dapat dicapainya. Namun karena butuh imajinasi yang tinggi dan keyakinan yang kuat untuk membuat orang yakin akan adanya Tuhan yang Satu, yang menguasai jagat raya ini. Mungkin inilah salah satu dampak dari orang-orang modern yang hanya percaya jika peristiwa atau sesuatu benar-benar dapat ditangkap inderanya. Sehingga keyakinan-keyakinan agung seperti ini tidak ada dalam alur pikirannya.

15.4.14

HIDUP ALA ANIME

Setelah lama sekali tidak menyentuh yang namanya blog, akhirnya ada juga kesempatan untuk menyentuhnya. Sebenarnya sih tidak sibuk-sibuk amat sih, yah, sedikit agak sibuk, tapi kesibukan itu harusnya tidak terlalu menyibukkan. Maksudnya, kesibukan itu itu hanya saya lakukan untuk menyibukkan diri. haha, bahasanya kacau ya, langsung saja, kesibukan itu adalah download anime yang berepisode-episode. akhirnya paham kan, kenapa kesibukan itu seharusnya tidak terlalu menyibukkan..
ngomong-ngomong tentang anime, menurut wikipedia, Anime (アニメ) (baca: a-ni-me, bukan a-nim) adalah animasi khas Jepang, yang biasanya dicirikan melalui gambar-gambar berwarna-warni yang menampilkan tokoh-tokoh dalam berbagai macam lokasi dan cerita, yang ditujukan pada beragam jenis penonton (http://id.wikipedia.org/wiki/Anime). Biasanya, anime merupakan film yang jalan ceritanya diambil dari komik atau disebut manga.
Di Indonesia, anime yang banyak digandrungi antara lain One Piece, Naruto, Bleach, Fairy Tail, Detective Conan, Dragon Ball dsb. Menurut pengamatan saya, kebanyakan penggemar jenis anime ini adalah laki-laki, dan kebanyakan berumur 16 tahun ke atas, jadi bukan remaja lagi.
Sebagai salah satu dari penggemar anime, saya mengatakan bahwa menonton tayangan ini, bukan hanya sekadar hiburan saja. Bukannya mau ngeles apa gimana sih, tapi memang itu yang saya rasakan. Dan parahnya, saya mendapat lebih banyak pelajaran hidup dari situ. Walaupun cerita dalam anime itu cuma fiktif alias khayalan, banyak makna tersirat yang ingin disampaikan oleh penciptanya. saya gak tau ya, itu karakteristik orang Jepang yang selalu ingin menyemangati orang lain atau memang karakter dari anime itu sendiri. Ntar saya kasih tahu deh kalo udah tahu karakter orang Jepang, langsung, langsung dari Jepang maksudnya, haha.
Dari sebagian anime yang sudah saya lihat, selalu mencirikan untuk selalu berjuang dan berusaha semampunya untuk meraih tujuan. Maknanya akan lebih mengena dengan melihat sifat-sifat dari masing-masing karakter dan jalan hidup mereka (yang dibuat oleh pembuat anime-nya tente saja). Contohnya dalam One Piece, ada salah satu karakter yang bernama Roronoa Zoro (karakter favorit nih, hehe), dia digambarkan punya keinginan yang sangat kuat, "ketika saya sudah bertekad untuk mengejar mimpi saya, bahkan nyawa-pun sudah tidak saya pedulikan lagi." Itu salah satu contohnya.
Sebenarnya saya menulis ini bukan untuk mempromosikan anime ya. tapi hanya ingin mengatakan bahwa mengambil pelajaran itu bisa dari mana saja, bahkan dari seorang penjahat sekalipun, tergantung dari sudut mana kita melihatnya. namun yang harus diperhatikan ketika menyukai ini adalah jangan sampai kebablasan alias jadi maniak anime (11-12 sama maniak game), menonton anime dari bangun tidur sampai tidur lagi. Yang seperti itu benar-benar akan merusak kehidupan nyata (pengalaman, hehe).

21.1.14

KEBENARAN DALAM PEDOMAN


Setiap manusia akan cenderung untuk melakukan kebenaran. Kebenaran itu adalah suatu hal yang dirasanya benar. Hal ini merujuk pada keyakinan masing-masing manusia tersebut. Kemudian kebenaran tersebut akan menghasilkan nilai-nilai, yang selanjutnya nilai-nilai tersebut akan menjadi pedoman. Pedoman itu akan menjadi tolak ukur dalam kehidupannya. Dan akhirnya, keseluruhan hal tersebut akan membentuk suatu budaya.
Tidak ada satupun yang sempurna di semesta ini, kecuali Tuhan Yang Maha Esa. Kebenaran yang dipahami manusia pun tidak mutlak benar secara keseluruhan. Keterbatasan manusia dalam memahami ilmu-Nya Yang Maha Dahsyat, menjadikan kebenaran pun menjadi relatif. Hal yang harus dilakukan oleh makhluk yang dikatakan paling sempurna ini adalah berusaha untuk mencapai kebenaran itu, kebenaran yang didasarkan pada keyakinan bahwa Kebenaran mutlak adalah Allah SWT semata.
Perjalanan menuju kebenaran tidak serta merta seperti membuat mie instant. Terdapat banyak terowongan gelap dan beribu anak tangga yang harus ditapaki. Seperti pengetahuan tentang alam semesta, dahulu orang-orang memahami bahwa bumi adalah pusat tata surya. Pemahaman itu menjadi sebuah kebenaran, sebelum akhirnya Galileo Galilei dan Nicolaus Copernicus memahami kebenaran yang lebih baik.
Contoh lain, Sir Isaac Newton menjelaskan bahwa ruang dan waktu itu mutlak. Pemahaman itu berubah saat Albert Einstein muncul dengan teorinya bahwa keduanya tidak semutlak yang diduga . Hal ini membuktikan bahwa paradigma kebenaran selalu bergeser sepanjang peradaban.
Sebagai makhluk yang percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan Yang satu, sekeras apapun kita berikhtiar mencari kebenaran dan pedoman dalam menjalani hidup yang semakin kompleks ini, pada akhirnya kita akan kembali kepada kebenaran Mutlak itu. Dan pada akhirnya, kita hanya akan berpikir bahwa pengetahuan kita yang sedikit tentang fenomena alam semesta ini beserta isinya, tidak bisa dibandingkan dengan pengetahuannya. Perbandingan yang bahkan antara bagian terkecil elektron dan alam semesta ini pun tidak.

Preface

Sebenarnya, sudah dari dulu-dulu sekali saya ingin menulis atau, yah, memposting tulisan saya di blog. Walaupun hanya tulisan koyol yang bisa saya susun. Tapi keinginan itu hanya sekedar keinginan saja, apalagi keinginan yang keluar dari pemalas sombong seperti saya (yang pertama memang benar, yang kedua gak gitu juga sih). Dan mungkin keinginan saya tersebut akhirnya bisa terwujud lewat tulisan perdana saya ini. Saya memang tidak pandai menyusun kata-kata yang bagus, tapi minimal dengan bahasa saya yang kacau, maksud saya walaupun sulit ditangkap, akhirnya akan tertangkap juga.

Sebelum ini, saya punya banyak sekali blog yang tidak pernah diurus, alias hanya buat saja. Isinya pun tak ada yang berarti, hanya sekedar postingan omong kosong yang benar-benar omong kosong. Tapi, mungkin dari sekarang, yah, mungkin, saya akan lebih banyak menulis. Bukan untuk mengikuti jejak Raditya Dika, tapi lebih untuk mengisi waktu saya ketika mata saya yang agak minus ini lelah membaca (novel maksudnya). Tapi sebenarnya, lelah membaca bukan alasan utama, ada alasan lain yang tidak bisa saya sebutkan. Ha ha.
Tulisan ini memang hanya sedikit, tapi lama juga saya menyusunnya. Hmm, itu sepadan untuk orang yang malas mengikuti pelatihan menulis, yang bahkan diadakan gratis, seperti saya. Saya jadi ingin melihat bagaimana Walter Isaacson atau Dan Brown atau Karen Armstrong menulis buku yang tebalnya hampir 5 cm (saya benar-benar mengukurnya) dan isi dari tiap kalimatnya bermakna. Tapi memang tak ada gunanya membandingkan seorang profesional dengan amatiran, kecuali semangat dan motivasinya, mungkin.