21.1.14

KEBENARAN DALAM PEDOMAN


Setiap manusia akan cenderung untuk melakukan kebenaran. Kebenaran itu adalah suatu hal yang dirasanya benar. Hal ini merujuk pada keyakinan masing-masing manusia tersebut. Kemudian kebenaran tersebut akan menghasilkan nilai-nilai, yang selanjutnya nilai-nilai tersebut akan menjadi pedoman. Pedoman itu akan menjadi tolak ukur dalam kehidupannya. Dan akhirnya, keseluruhan hal tersebut akan membentuk suatu budaya.
Tidak ada satupun yang sempurna di semesta ini, kecuali Tuhan Yang Maha Esa. Kebenaran yang dipahami manusia pun tidak mutlak benar secara keseluruhan. Keterbatasan manusia dalam memahami ilmu-Nya Yang Maha Dahsyat, menjadikan kebenaran pun menjadi relatif. Hal yang harus dilakukan oleh makhluk yang dikatakan paling sempurna ini adalah berusaha untuk mencapai kebenaran itu, kebenaran yang didasarkan pada keyakinan bahwa Kebenaran mutlak adalah Allah SWT semata.
Perjalanan menuju kebenaran tidak serta merta seperti membuat mie instant. Terdapat banyak terowongan gelap dan beribu anak tangga yang harus ditapaki. Seperti pengetahuan tentang alam semesta, dahulu orang-orang memahami bahwa bumi adalah pusat tata surya. Pemahaman itu menjadi sebuah kebenaran, sebelum akhirnya Galileo Galilei dan Nicolaus Copernicus memahami kebenaran yang lebih baik.
Contoh lain, Sir Isaac Newton menjelaskan bahwa ruang dan waktu itu mutlak. Pemahaman itu berubah saat Albert Einstein muncul dengan teorinya bahwa keduanya tidak semutlak yang diduga . Hal ini membuktikan bahwa paradigma kebenaran selalu bergeser sepanjang peradaban.
Sebagai makhluk yang percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan Yang satu, sekeras apapun kita berikhtiar mencari kebenaran dan pedoman dalam menjalani hidup yang semakin kompleks ini, pada akhirnya kita akan kembali kepada kebenaran Mutlak itu. Dan pada akhirnya, kita hanya akan berpikir bahwa pengetahuan kita yang sedikit tentang fenomena alam semesta ini beserta isinya, tidak bisa dibandingkan dengan pengetahuannya. Perbandingan yang bahkan antara bagian terkecil elektron dan alam semesta ini pun tidak.

Preface

Sebenarnya, sudah dari dulu-dulu sekali saya ingin menulis atau, yah, memposting tulisan saya di blog. Walaupun hanya tulisan koyol yang bisa saya susun. Tapi keinginan itu hanya sekedar keinginan saja, apalagi keinginan yang keluar dari pemalas sombong seperti saya (yang pertama memang benar, yang kedua gak gitu juga sih). Dan mungkin keinginan saya tersebut akhirnya bisa terwujud lewat tulisan perdana saya ini. Saya memang tidak pandai menyusun kata-kata yang bagus, tapi minimal dengan bahasa saya yang kacau, maksud saya walaupun sulit ditangkap, akhirnya akan tertangkap juga.

Sebelum ini, saya punya banyak sekali blog yang tidak pernah diurus, alias hanya buat saja. Isinya pun tak ada yang berarti, hanya sekedar postingan omong kosong yang benar-benar omong kosong. Tapi, mungkin dari sekarang, yah, mungkin, saya akan lebih banyak menulis. Bukan untuk mengikuti jejak Raditya Dika, tapi lebih untuk mengisi waktu saya ketika mata saya yang agak minus ini lelah membaca (novel maksudnya). Tapi sebenarnya, lelah membaca bukan alasan utama, ada alasan lain yang tidak bisa saya sebutkan. Ha ha.
Tulisan ini memang hanya sedikit, tapi lama juga saya menyusunnya. Hmm, itu sepadan untuk orang yang malas mengikuti pelatihan menulis, yang bahkan diadakan gratis, seperti saya. Saya jadi ingin melihat bagaimana Walter Isaacson atau Dan Brown atau Karen Armstrong menulis buku yang tebalnya hampir 5 cm (saya benar-benar mengukurnya) dan isi dari tiap kalimatnya bermakna. Tapi memang tak ada gunanya membandingkan seorang profesional dengan amatiran, kecuali semangat dan motivasinya, mungkin.